Jumat, 12 Oktober 2012

Bermula dari Arsitektur-Sejarah-Budaya sampai kepada Spiritual



Seorang Ahli Sejarah & Budaya kemarin bercerita pengalamannya telah mengunjungi 18 negara dan mengetahui setiap bahasa dari negara tersebut serta betapa maju mereka.  Awalnya kami berkunjung untuk menanyakan sistem stratifikasi sosial pada desa tempat kami meneliti karena ada keraguan pada data nama-nama bangsawan yang kami dapatkan dari kantor Desa ,maka “pendapat kedua” yang ingin kami dengarkan
.
Maka mulailah jelas titik bahwa rumah tradisional khusunya suku Makassar ada yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan yaitu orang-orang yang berada pada garis keturunan langsung raja, seiring perkembangan zaman maka kawin-mawin pun terjadi, 4 kriteria yang dapat mengawini/menikah dengan keluarga raja adalah: 1. Karaeng (bangsawan/keturunan raja), 2. Tukalumanyyang (orang yang kaya raya), 3. Tucaradde (orang pandai/berilmu) dan  4. Tubarania (pemberani/prajurit). Setelah mereka mengawini keturunan raja maka mereka berhak membangun rumah dengan singkap atap yang sama dengan golongan bangsawan yang saat ini di desa tersebut menggunakan 3-5 singkap atap yang disebut timba sila atau sambulayang.

Diskusi kami akhirnya melebar kesana-kemari, hal ini juga karena kefahaman beliau tentang banyak hal (itu analisa saya), bahkan kami berdiskusi dengan beberapa bahasa: Indonesia, Makassar, Bugis, Inggris dan beberapa kata dalam bahasa Jepang.

Beberapa hal yang membekas "tidak ada orang yang sangat hebat, kehebatan yg kita rasa saat ini tidaklah berarti apa dibandingkan mereka di negeri sana yang 15 tahun lebih maju dari negeri kita, yang ada hanyalah orang-orang yang tidak pernah berhenti berusaha dan menyadari potensi yang ia miliki,"sekiranya seperti itu makna yang saya tangkap.
Kemudian beliau berkata lagi "untuk jadi pengajar/dosen yang berkualitas hendaknya telah melihat dan merasakan bagaimana sistem pendidikan di negara Maju diterapkan, bagaimana Potensi Alam dan Potensi Manusia dijaga dan selalu di upgrade sehingga negara mereka selalu berkembang tanpa pernah melupakan sejarah dan nilai-nilai kebudayaan yang luhur". Sekali lagi saya mengangguk-angguk, luar biasa. Betapa tidak sebandingnya kita dengan mereka-mereka di luar sana.

Satu hal yang semakin membuat saya berkata WOW....super sekali (as like as Bpk.Mario Teguh). Beliaupun menyinggung sampai pada spiritual hakiki/hakikat manusia. "Dalam Al-Quran terdapat ribuan ayat dan sekitar 30% merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang jika kita gali maka akan kita ketahui hakikat penciptaan alam semesta ini. Pernahkah kamu mendengar atau membaca tentang keberadaan Tuhan/Allah swt yang dikatakan berada di manapun? jadi sebenarnya Tuhan itu di mana? apakah Tuhan membagi dirinya satupersatu kepada setiap umat manusia tanpa terkecuali?" terangnya sembari melemparkan beberapa pertanyaan. Saya bersama teman dan seorang guide hanya mampu terdiam dengan pikiran masing-masing entah menyimpan jawaban tapi tak ingin dekeluarkan karena takut salah atau mencoba menjadi pendegar setia, tapi yang pasti kami menghormati beliau dengan tidak menyela dengan menyadari bahwa kami tidak pakar pada bidang Filsafat, ahli Tafsi Hadits/Al-Quran, dsb. Meski dalam hati saya mencoba menduga-duga ke arah mana pembicaraan ini akan dibawanya. Perlu pembaca tau bahwa kami sedang berhadapan dengan seorang Keturunan Bangsawan sekaligus Tokoh Masyarakat dari Sebuah desa yang terkenal dengan komunitas Al-Aidid atau kaum Sayyid yang juga dikenal dengan acara Maudu Lompoa-nya, sementara kami adalah mahasiswi yang berasal dari luar desanya dan tidak termasuk dalam komunitas Al-Aidid. Laa uridu dzuudzon...Subhanallah (Kesucian hanya milik Sang Penguasa Hidup).

Melihat kami terdiam beliaupun meluruskan arah pembicaraannya "maka ketika diragukan/dipertanyakan di manakah Tuhan berada? jawabnya adalah Tuhan berada di setiap hati/jiwa manusia tanpa harus melakukan kloning untuk membagi dirinya. karena Tuhan itu zat yang awal, akhir tapi tidak pernah Berawal dan Berakhir. Maka ketika kita ingin mengenal Tuhan hal yang patut kita fahami lebih awal adalah kenali dirimu sendiri, sebaik kau mengenali dirimu begitulah kau mengenali Tuhanmu".

Sebatas ilmu yang pernah saya dapatkan dan saya pelajari, sinkronisasi penjelasan beliau tentang korelasi Tuhan dan Manusia yang dalam keyakinan kami ummat muslim adalah Allah swt merupakan 1 kesatuan yang tidak bisa dilepaskan hanya terkadang manusia yang mencurangi dirinya sendiri dan tidak mengindahkan bahasa kebenaran dari kalbunya. Allah swt yang memiliki 99 sifat, menitipkan secuil (karena tidak dapat dikuantitatifkan/dihitung jumlahnya) sifat yang Ia miliki kepada setiap ummat manusia. Kembali lagi kepada manusianya apakah ingin mengetahui dirinya dan menjadi Insan Hasan (manusia yg baik) atau sebaliknya. Semoga saya tidak keliru bahwa dalam Al-Qur'an Allah berfirman, jika disederhanakan mungkin seperti ini  "Aku seperti apa yang dipersangkakan hambaku kepada-Ku". Contoh sederhana kata "Arrahman dan Arrahim" yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang, setiap manusia pada fitrahnya adalah manusia yang lemah lembut dan beretika, senantiasa memiliki sifat mengasihi dan menyayangi dalam dimensi yang tidak hanya terbatas pada sesama manusia semata tapi juga pada seluruh makhluk CiptaanNya.
Coba kita tanyakan pada nurani kita saat kita emosi entah karena masalah apa. Saat kita mampu mengendalikan emosi dan menyampaikannya dengan kata-kata yang lebih bijak dan pantas maka kita telah menerapkan dan memperlihatkan kefitrahan serta kehakikian kita sebagai manusia, sebaliknya saat emosi yang merajai hati maka yang keluar dari mulut saat marah/emosi adalah kata-kata yang tidaklah patut diucapkan, mungkin pula tidak lagi menggambarkan siapa yang berbicara maka yang terjadi orang akan menilai kita sesuai dengan apa yang kita tuturkan. Saat semua emosi reda baik yang termanage dgn baik ataupun yang lose control, kembali kita ketut pintu nurani dan tanyakan, sudah tepatkah tindakan saya tadi? sudah sesuaikah apa yang say ucapkan tadi dengan segala latar belakang yang saya miliki? serta patutkah saya mencap diri hamba Allah yang baik? jawabnya saya kembalikan pada diri kita masing-masing karena tidak ada satupun manusia yang pantas menilai manusia lainnya. No body's perfect, tapi seharusnya tidak ada kata Berhenti (kayak kampanye Cagub, Masya Allah tidak ada niat untuk itu) untuk terus belajar dan memperbaiki "Never stop to learn about our self".

Beberapa buku yang pernah saya baca semuanya berkaitan dengan diskusi saya dan Sejarahwan itu,diantaranya adalah: "Sejarah Tuhan" oleh Karen Amstrong, Mauricel dengan karyanya "Ijlil, Al-Qur'an dan Ilmu Moderent", dan satu lagi yang saya lupa pengarangnya, judulnya " Gen Tuhan dalam Tubuh Manusia". Kalau tertarik, silahkan pembaca mencari buku-buku tersebut. Sekali lagi saya bukan ahlinya dan tidak bermaksud mencari perdebatan kusir untuk ilmu yang saya merasa masih jauh dari Faham.
Tulisan di atas adalah sekelumit beban pikiran yang ingin saya bagikan. Sebuah cerita tentang hasil diskusi saya yang ngalor ngidul dengan seorang yang Hebat di sebuah daerah yang penduduknya saya nilai begitu ramah, beretika, bersahaja dan senantiasa menjaga budayanya. Benar atau keliru, saya tetap berusaha menulis yang terbaik. Kesucian dan Kefitrahan hakiki hanya milik Allah swt. Saya hanya mencoba memaparkan dalam batas kekurangan saya serta berusaha menyederhanakannya dengan harapan bisa difahami oleh semuanya. 

Syukran....
Jazakumullah khairan
Barakallah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar