Seorang Ahli Sejarah & Budaya kemarin bercerita
pengalamannya telah mengunjungi 18 negara dan mengetahui setiap bahasa dari
negara tersebut serta betapa maju mereka.
Awalnya kami berkunjung untuk menanyakan sistem stratifikasi sosial pada
desa tempat kami meneliti karena ada keraguan pada data nama-nama bangsawan
yang kami dapatkan dari kantor Desa ,maka “pendapat kedua” yang ingin kami
dengarkan
.
Maka mulailah jelas titik bahwa rumah tradisional khusunya
suku Makassar ada yang diperuntukkan untuk kaum bangsawan yaitu orang-orang
yang berada pada garis keturunan langsung raja, seiring perkembangan zaman maka
kawin-mawin pun terjadi, 4 kriteria yang dapat mengawini/menikah dengan
keluarga raja adalah: 1. Karaeng
(bangsawan/keturunan raja), 2. Tukalumanyyang
(orang yang kaya raya), 3. Tucaradde (orang
pandai/berilmu) dan 4. Tubarania (pemberani/prajurit). Setelah
mereka mengawini keturunan raja maka mereka berhak membangun rumah dengan
singkap atap yang sama dengan golongan bangsawan yang saat ini di desa tersebut
menggunakan 3-5 singkap atap yang disebut timba
sila atau sambulayang.
Diskusi kami akhirnya melebar kesana-kemari, hal ini juga
karena kefahaman beliau tentang banyak hal (itu analisa saya), bahkan kami
berdiskusi dengan beberapa bahasa: Indonesia, Makassar, Bugis, Inggris dan
beberapa kata dalam bahasa Jepang.
Beberapa hal yang membekas "tidak ada orang yang sangat
hebat, kehebatan yg kita rasa saat ini tidaklah berarti apa dibandingkan mereka
di negeri sana yang 15 tahun lebih maju dari negeri kita, yang ada hanyalah
orang-orang yang tidak pernah berhenti berusaha dan menyadari potensi yang ia
miliki,"sekiranya seperti itu makna yang saya tangkap.
Kemudian beliau berkata lagi "untuk jadi pengajar/dosen
yang berkualitas hendaknya telah melihat dan merasakan bagaimana sistem
pendidikan di negara Maju diterapkan, bagaimana Potensi Alam dan Potensi
Manusia dijaga dan selalu di upgrade sehingga negara mereka selalu berkembang
tanpa pernah melupakan sejarah dan nilai-nilai kebudayaan yang luhur".
Sekali lagi saya mengangguk-angguk, luar biasa. Betapa tidak sebandingnya kita
dengan mereka-mereka di luar sana.
Satu hal yang semakin membuat saya berkata WOW....super
sekali (as like as Bpk.Mario Teguh). Beliaupun menyinggung sampai pada
spiritual hakiki/hakikat manusia. "Dalam Al-Quran terdapat ribuan ayat dan
sekitar 30% merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang jika kita gali maka akan
kita ketahui hakikat penciptaan alam semesta ini. Pernahkah kamu mendengar atau
membaca tentang keberadaan Tuhan/Allah swt yang dikatakan berada di manapun?
jadi sebenarnya Tuhan itu di mana? apakah Tuhan membagi dirinya satupersatu
kepada setiap umat manusia tanpa terkecuali?" terangnya sembari
melemparkan beberapa pertanyaan. Saya bersama teman dan seorang guide hanya
mampu terdiam dengan pikiran masing-masing entah menyimpan jawaban tapi tak
ingin dekeluarkan karena takut salah atau mencoba menjadi pendegar setia, tapi
yang pasti kami menghormati beliau dengan tidak menyela dengan menyadari bahwa
kami tidak pakar pada bidang Filsafat, ahli Tafsi Hadits/Al-Quran, dsb. Meski
dalam hati saya mencoba menduga-duga ke arah mana pembicaraan ini akan
dibawanya. Perlu pembaca tau bahwa kami sedang berhadapan dengan seorang
Keturunan Bangsawan sekaligus Tokoh Masyarakat dari Sebuah desa yang terkenal
dengan komunitas Al-Aidid atau kaum Sayyid yang juga dikenal dengan acara Maudu
Lompoa-nya, sementara kami adalah mahasiswi yang berasal dari luar desanya dan
tidak termasuk dalam komunitas Al-Aidid. Laa uridu dzuudzon...Subhanallah
(Kesucian hanya milik Sang Penguasa Hidup).
Melihat kami terdiam beliaupun meluruskan arah
pembicaraannya "maka ketika diragukan/dipertanyakan di manakah Tuhan
berada? jawabnya adalah Tuhan berada di setiap hati/jiwa manusia tanpa harus
melakukan kloning untuk membagi dirinya. karena Tuhan itu zat yang awal, akhir
tapi tidak pernah Berawal dan Berakhir. Maka ketika kita ingin mengenal Tuhan
hal yang patut kita fahami lebih awal adalah kenali dirimu sendiri, sebaik kau
mengenali dirimu begitulah kau mengenali Tuhanmu".
Sebatas ilmu yang pernah saya dapatkan dan saya pelajari,
sinkronisasi penjelasan beliau tentang korelasi Tuhan dan Manusia yang dalam
keyakinan kami ummat muslim adalah Allah swt merupakan 1 kesatuan yang tidak
bisa dilepaskan hanya terkadang manusia yang mencurangi dirinya sendiri dan
tidak mengindahkan bahasa kebenaran dari kalbunya. Allah swt yang memiliki 99
sifat, menitipkan secuil (karena tidak dapat dikuantitatifkan/dihitung
jumlahnya) sifat yang Ia miliki kepada setiap ummat manusia. Kembali lagi
kepada manusianya apakah ingin mengetahui dirinya dan menjadi Insan Hasan
(manusia yg baik) atau sebaliknya. Semoga saya tidak keliru bahwa dalam
Al-Qur'an Allah berfirman, jika disederhanakan mungkin seperti ini "Aku seperti apa yang dipersangkakan
hambaku kepada-Ku". Contoh sederhana kata "Arrahman dan Arrahim"
yang berarti Maha Pengasih dan Maha Penyayang, setiap manusia pada fitrahnya
adalah manusia yang lemah lembut dan beretika, senantiasa memiliki sifat
mengasihi dan menyayangi dalam dimensi yang tidak hanya terbatas pada sesama
manusia semata tapi juga pada seluruh makhluk CiptaanNya.
Coba kita tanyakan pada nurani kita saat kita emosi entah
karena masalah apa. Saat kita mampu mengendalikan emosi dan menyampaikannya
dengan kata-kata yang lebih bijak dan pantas maka kita telah menerapkan dan
memperlihatkan kefitrahan serta kehakikian kita sebagai manusia, sebaliknya
saat emosi yang merajai hati maka yang keluar dari mulut saat marah/emosi
adalah kata-kata yang tidaklah patut diucapkan, mungkin pula tidak lagi
menggambarkan siapa yang berbicara maka yang terjadi orang akan menilai kita
sesuai dengan apa yang kita tuturkan. Saat semua emosi reda baik yang termanage
dgn baik ataupun yang lose control, kembali kita ketut pintu nurani dan
tanyakan, sudah tepatkah tindakan saya tadi? sudah sesuaikah apa yang say
ucapkan tadi dengan segala latar belakang yang saya miliki? serta patutkah saya
mencap diri hamba Allah yang baik? jawabnya saya kembalikan pada diri kita
masing-masing karena tidak ada satupun manusia yang pantas menilai manusia
lainnya. No body's perfect, tapi seharusnya tidak ada kata Berhenti (kayak
kampanye Cagub, Masya Allah tidak ada niat untuk itu) untuk terus belajar dan memperbaiki
"Never stop to learn about our self".
Beberapa buku yang pernah saya baca semuanya berkaitan
dengan diskusi saya dan Sejarahwan itu,diantaranya adalah: "Sejarah
Tuhan" oleh Karen Amstrong, Mauricel dengan karyanya "Ijlil,
Al-Qur'an dan Ilmu Moderent", dan satu lagi yang saya lupa pengarangnya,
judulnya " Gen Tuhan dalam Tubuh Manusia". Kalau tertarik, silahkan
pembaca mencari buku-buku tersebut. Sekali lagi saya bukan ahlinya dan tidak
bermaksud mencari perdebatan kusir untuk ilmu yang saya merasa masih jauh dari
Faham.
Tulisan di atas adalah sekelumit beban pikiran yang ingin
saya bagikan. Sebuah cerita tentang hasil diskusi saya yang ngalor ngidul
dengan seorang yang Hebat di sebuah daerah yang penduduknya saya nilai begitu
ramah, beretika, bersahaja dan senantiasa menjaga budayanya. Benar atau keliru,
saya tetap berusaha menulis yang terbaik. Kesucian dan Kefitrahan hakiki hanya
milik Allah swt. Saya hanya mencoba memaparkan dalam batas kekurangan saya
serta berusaha menyederhanakannya dengan harapan bisa difahami oleh semuanya.
Syukran....
Jazakumullah khairan
Barakallah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar